Pemerintah dan BI telah membentuk sebuah tim yang berada di bawah
Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) untuk menindaklanjuti proses
penyederhanaan angka nol dalam rupiah alias redenominasi.
Pengertian redenominasi sendiri adalah mengurangi digit (angka nol)
tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1
untuk menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan
lebih kecil. Dengan penyederhanaan itu maka hal yang sama secara
bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang dan proses ini tidak
merubah daya beli masyarakat.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri menjelaskan beberapa alasan
perlunya menyederhanakan angka nol dalam rupiah alias redenominasi mata
uang. Alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan keuangan
atau sistem akuntansi.
"Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan denominasi yang
besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu, perlu
disederhanakan," kata Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus
Suprijanto seperti dikutip, Minggu (9/12/2012).
Proses redenominasi ini menuai banyak pro dan kontra. Beberapa analis
menyampaikan rencana pemerintah yang ingin melakukan redenominasi rupiah
perlu dilakukan saat ini juga. Pasalnya, rupiah saat ini dinilai
seperti sampah karena masuk mata uang terburuk di dunia.
"Redenominasi perlu dilakukan saat ini juga. Jangan lagi ditunda. Nanti
berganti pemerintahan ya berganti lagi arah kebijakannya," kata pengamat
pasar uang Farial Anwar kepada detikFinance.
Menurut Farial, mata uang rupiah saat ini seperti sampah. Bayangkan saja, menurutnya US$ 1 sama dengan Rp 9.000.
"Rupiah seperti sampah. Memalukan sekali saat ini dan masuk terburuk di
dunia. Karena US$ 1 sama dengan Rp 9.000 kan itu memalukan sekali di
pasar," terangnya.
Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan rencana Indonesia melakukan
penyederhanaan mata uang rupiah ini akan membawa sebuah manfaat.
Ketika redenominasi sukses dengan menyederhanakan Rp 1.000 menjadi Rp 1,
maka Bank Dunia memandang Indonesia memberikan sinyal untuk siap
menghadapi tantangan ekonomi lebih baik ke depan.
"Keuntungan terbesar ketika kondisi makro stabil dan redenominasi
dilakukan maka ini memberikan sinyal Indonesia siap mengambil tantangan
baru untuk bergerak ke tahapan ekonomi lebih baik," ungkap Lead
Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Shubham Chaudhuri.
Mantan Menteri Perekonomian dan Industri yang juga guru besar UI,
Dorodjatun Kuntjoro Jakti mengatakan rencana redenominasi perlu
direalisasikan. Karena Indonesia salah satu negara yang memiliki mata
uang dengan angka nol terbanyak sehingga pantas dikurangi.
"Saya kira mungkin ini harus dibicarakan lebih jauh yah. Kan sekarang
paling besar itu pecahan Rp 100.000. Nol-nya banyak harus redenominasi,"
kata Dorodjatun.
Dorodjatun mencontohkan ketika menjadi duta besar di AS, Ia sempat ke
Istanbul Turki yang memang memiliki mata uang cukup banyak nol-nya.
Alhasil Dorodjatun mengaku kaget ketika harus membayar hotel yang
jumlahnya bisa miliaran.
Banyak respon positif mengenai langkah pemerintah ini. Namun banyak juga respon negatif terutama dari kalangan DPR.
Anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta mengatakan ongkos penyederhanaan Rp 1.000 menjadi Rp 1 ini cukup besar.
"Pemerintah Indonesia berencana menyederhanakan 3 digit nominal mata
uang yang ada saat ini. Hal ini mungkin memiliki kelebihan bahwa mata
uang kita terlihat gagah ketika disandingkan dengan mata uang asing,"
kata Arif dalam studi redenominasinya.
"Pemerintah harus menyadari bahwa ongkos ekonomi maupun sosial untuk
melakukan redenominasi ini tidak sedikit dan bahkan sangat besar," imbuh
Politisi PDIP ini.
Adalah biaya sosialisasi yang cukup besar dimana harus ditanggung
pemerintah lewat APBN. "Biaya Sosialisasi untuk meredam dampak negatif
dari ekspektasi masyarakat yang di luar keinginan pemerintah tentulah
sangat besar dan lama. Perkiraan saya biayanya bisa mencapai sekitar Rp
10 triliun rupiah," kata Arif.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis juga
mengataka jika redenominasi dilakukan, transaksi ekonomi di masyarakat
akan cenderung kacau dan berpotensi menimbulkan inflasi tinggi.
"Bisa kacau semua. Perekonomian bisa terganggu karena inflasi akan
melambung. Perbedaan harga, mata uang bisa tidak sinkron," ungkap Harry.
Pengamat Ekonomi Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa
menegaskan tidak ada alasan pemerintah untuk melakukan kebijakan
redenominasi rupiah.
"Redenominasi itu ngawur. Apa alasan BI dan pemerintah? Jangan main-main bank sentral juga. Ini membodohi publik," ujar Purbaya.
Menurut Purbaya, suatu kekeliruan jika BI melakukan redenominasi karena
membandingkan kondisi Indonesia dengan Turki. Dia menyebutkan, kondisi
Turki saat melakukan redenominasi sangat buruk dengan tingkat inflasi
rata-rata dalam 15 tahun sebesar 70% dan pelemahan mata uang 1.400 kali
selama 10 tahun sebelum kebijakan tersebut dilakukan.
"Kalau BI melihat Turki untuk melakukan redenominasi itu salah.
Redenominasi dilakukan saat inflasi stabil, di Turki itu inflasinya 70
persen rata-ratanya dalam 15 tahun. Turki mata uangnya sudah melemah
1.400 kali dalam waktu 10 tahun, kita cuma 5 kalilah kalau dari Rp 2
ribu ke Rp 10 ribu, inflasi kita sekitar 8 persenan, bukan bandingan
lah," tegasnya.
Terlepas dari respon positif dan negatifnya, redenominasi rupiah pada
dasarnya merupakan hal yang baik. Langkah pemerintah yang diinisiasikan
oleh Bank Indonesia untuk mengangkat 'derajat' rupiah merupakan hal yang
membanggakan.
Bagaimana dengan anda? Apakah anda setuju redenominasi rupiah?
Sumber
Follow
Rabu, Desember 19, 2012
Rp 1.000 Jadi Rp 1, Setujukah Anda?
Tags
# Informasi
About Unknown
Kami melayani berbagai jenis desain mulai tahun 2013 hingga sekarang, kini pelanggan kami dari dalam kota, luar kota, luar pulau, hingga mancanegara. karena bagi kami kualitas yang menjadi prioritas utama di usaha ini. Semoga anda dapat bekerja sama dan sukses bersama dalam menjalakan usaha.
Informasi
Tag ;
Informasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Membangun Dan Tanpa Link