Magic4rt Blog

Digital Art And Information

Rabu, Desember 19, 2012

Rp 1.000 Jadi Rp 1, Setujukah Anda?

Pemerintah dan BI telah membentuk sebuah tim yang berada di bawah Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) untuk menindaklanjuti proses penyederhanaan angka nol dalam rupiah alias redenominasi.

Pengertian redenominasi sendiri adalah mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1 untuk menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih kecil. Dengan penyederhanaan itu maka hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang dan proses ini tidak merubah daya beli masyarakat.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sendiri menjelaskan beberapa alasan perlunya menyederhanakan angka nol dalam rupiah alias redenominasi mata uang. Alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan keuangan atau sistem akuntansi.

"Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu, perlu disederhanakan," kata Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto seperti dikutip, Minggu (9/12/2012).

Proses redenominasi ini menuai banyak pro dan kontra. Beberapa analis menyampaikan rencana pemerintah yang ingin melakukan redenominasi rupiah perlu dilakukan saat ini juga. Pasalnya, rupiah saat ini dinilai seperti sampah karena masuk mata uang terburuk di dunia.

"Redenominasi perlu dilakukan saat ini juga. Jangan lagi ditunda. Nanti berganti pemerintahan ya berganti lagi arah kebijakannya," kata pengamat pasar uang Farial Anwar kepada detikFinance.

Menurut Farial, mata uang rupiah saat ini seperti sampah. Bayangkan saja, menurutnya US$ 1 sama dengan Rp 9.000.

"Rupiah seperti sampah. Memalukan sekali saat ini dan masuk terburuk di dunia. Karena US$ 1 sama dengan Rp 9.000 kan itu memalukan sekali di pasar," terangnya.

Bank Dunia (World Bank) mengungkapkan rencana Indonesia melakukan penyederhanaan mata uang rupiah ini akan membawa sebuah manfaat.

Ketika redenominasi sukses dengan menyederhanakan Rp 1.000 menjadi Rp 1, maka Bank Dunia memandang Indonesia memberikan sinyal untuk siap menghadapi tantangan ekonomi lebih baik ke depan.

"Keuntungan terbesar ketika kondisi makro stabil dan redenominasi dilakukan maka ini memberikan sinyal Indonesia siap mengambil tantangan baru untuk bergerak ke tahapan ekonomi lebih baik," ungkap Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia, Shubham Chaudhuri.

Mantan Menteri Perekonomian dan Industri yang juga guru besar UI, Dorodjatun Kuntjoro Jakti mengatakan rencana redenominasi perlu direalisasikan. Karena Indonesia salah satu negara yang memiliki mata uang dengan angka nol terbanyak sehingga pantas dikurangi.

"Saya kira mungkin ini harus dibicarakan lebih jauh yah. Kan sekarang paling besar itu pecahan Rp 100.000. Nol-nya banyak harus redenominasi," kata Dorodjatun.

Dorodjatun mencontohkan ketika menjadi duta besar di AS, Ia sempat ke Istanbul Turki yang memang memiliki mata uang cukup banyak nol-nya. Alhasil Dorodjatun mengaku kaget ketika harus membayar hotel yang jumlahnya bisa miliaran.

Banyak respon positif mengenai langkah pemerintah ini. Namun banyak juga respon negatif terutama dari kalangan DPR.

Anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta mengatakan ongkos penyederhanaan Rp 1.000 menjadi Rp 1 ini cukup besar.

"Pemerintah Indonesia berencana menyederhanakan 3 digit nominal mata uang yang ada saat ini. Hal ini mungkin memiliki kelebihan bahwa mata uang kita terlihat gagah ketika disandingkan dengan mata uang asing," kata Arif dalam studi redenominasinya.

"Pemerintah harus menyadari bahwa ongkos ekonomi maupun sosial untuk melakukan redenominasi ini tidak sedikit dan bahkan sangat besar," imbuh Politisi PDIP ini.

Adalah biaya sosialisasi yang cukup besar dimana harus ditanggung pemerintah lewat APBN. "Biaya Sosialisasi untuk meredam dampak negatif dari ekspektasi masyarakat yang di luar keinginan pemerintah tentulah sangat besar dan lama. Perkiraan saya biayanya bisa mencapai sekitar Rp 10 triliun rupiah," kata Arif.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis juga mengataka jika redenominasi dilakukan, transaksi ekonomi di masyarakat akan cenderung kacau dan berpotensi menimbulkan inflasi tinggi.

"Bisa kacau semua. Perekonomian bisa terganggu karena inflasi akan melambung. Perbedaan harga, mata uang bisa tidak sinkron," ungkap Harry.

Pengamat Ekonomi Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak ada alasan pemerintah untuk melakukan kebijakan redenominasi rupiah.

"Redenominasi itu ngawur. Apa alasan BI dan pemerintah? Jangan main-main bank sentral juga. Ini membodohi publik," ujar Purbaya.

Menurut Purbaya, suatu kekeliruan jika BI melakukan redenominasi karena membandingkan kondisi Indonesia dengan Turki. Dia menyebutkan, kondisi Turki saat melakukan redenominasi sangat buruk dengan tingkat inflasi rata-rata dalam 15 tahun sebesar 70% dan pelemahan mata uang 1.400 kali selama 10 tahun sebelum kebijakan tersebut dilakukan.

"Kalau BI melihat Turki untuk melakukan redenominasi itu salah. Redenominasi dilakukan saat inflasi stabil, di Turki itu inflasinya 70 persen rata-ratanya dalam 15 tahun. Turki mata uangnya sudah melemah 1.400 kali dalam waktu 10 tahun, kita cuma 5 kalilah kalau dari Rp 2 ribu ke Rp 10 ribu, inflasi kita sekitar 8 persenan, bukan bandingan lah," tegasnya.

Terlepas dari respon positif dan negatifnya, redenominasi rupiah pada dasarnya merupakan hal yang baik. Langkah pemerintah yang diinisiasikan oleh Bank Indonesia untuk mengangkat 'derajat' rupiah merupakan hal yang membanggakan.

Bagaimana dengan anda? Apakah anda setuju redenominasi rupiah?

Sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah Yang Membangun Dan Tanpa Link